TEORY LINGUISTICS
BAB I .
PENDAHULUAN
Bahasa manusia adalah obyek
linguistik. Manusia dengan segala keterbatasannya akan berupaya memaknai alam
semesta dengan bahasanya. Factuality (fakta), reality (realita) dan actuality
(aktualita) merupakan konsep metodologi ilmiah yang menjadi rujukan dalam
kajian linguistik. Salah satu tujuan mempelajari bahasa adalah tujuan teoritis.
Kalau dilihat, linguistik mempelajari bahasa secara teoritis. Oleh karena
itulah, dalam mempelajari bahasa atau mendeskripsikannya bahasa berdasarkan
teori linguistik.
Manusia
sejak dilahirkan membawa potensi linguistik, berupa kelengkapan alat berbahasa.
Berpikir adalah berbahasa. Jadi permasalahan bahasa sangatlah kompleks, bukan
hanya tentang fakta dan realita yang direpresentasikan lewat bunyi. Namun,
melampaui batasan-batasan bahasa yang berkembang dalam diri anak secara
spontan, tanpa usaha sadar dan instruksi formal. Maksudnya dapat dipahami oleh
yang mendengarkan.
Dalam
linguistik, suatu bahasa dikaji berdasarkan tataran-tatarannya, sejarah perkembangan
bahasa, dan membandingkan bahasa yang satu dengan yang lainnya. Sehingga
ditemukan keterkaitan antara satu konstruksi bahasa dengan yang lainnya
berdasarkan hukum dan aturan yang mengikatnya.
Secara umum linguistik lazim diartikan sebagai ilmu
bahasa atau ilmu yang mengambil bahasa sebagai obyek kajiannya ( Chaer,2002:3 ).
Menurut sejarah perkembangan linguistik, Ilmu linguistik dapat dibagi menjadi 2 yaitu linguistik
tradisional dan linguistik modern.
I.
Linguistik tradisional
Linguistik tradisional dibagi
menjadi 5 dekade dimana setiap periode tersebut mempunyai perbedaan atau ciri
yang khas.:
1. Linguistik Zaman Yunani (abad ke 5
SM – abad ke 2 SM)
Yang menjadi pertentangan saat itu
adalah:
1) Pertentangan antara fisis dan nomos.
Bersifat fisis maksudnya bahasa itu mempuyai hubungan asal-usul, sumber
dalam prinsip-prinsip abadi dan tidak dapat diganti diluar manusia itu sendiri,
konvensional artinya, makna-makna kata itu diperoleh dari hasil-hasil
tradisi/kebiasaan.
2) Pertentangan analogi dan anomali.
Kaum analogi (Plato dan Aristoteles) berpendapat bahwa bahasa bersifat teratur,
analogi sejalan dengan kaum naturalis, sedangkan anomali berpendapat bahwa
bahasa itu tidak teratur. Kaum anomali sejalan dengan koum konvensional.
Ø Kaum/tokoh pada jaman Yunani:
a. Kaum Sophis (abad ke 5 SM)
b. Plato (429 – 347 SM)
c. Aristoteles (384 – 322 SM)
d. Kaum Stoik (abad ke – 4 SM)
e. Kaum Alexandrian
2. Zaman Romawi
Merupakan kelanjutan dari jaman
Yunani. Tokoh pada jaman Romawi yang terkenal antara lain, Varro (116 – 27 SM) dengan karyanya, De Lingua Latina dan Priscia
dengan karyanya Institutiones Grammaticae.
3. Zaman Pertengahan
Studi bahasa pada zaman pertengahan
mendapat perhatian penuh terutama oleh para filsuf skolastik. Tokoh yang
berperan besar pada zaman itu adalah :
a. Kaum Modistae
b. Petrus Hispanus
4. Zaman Renaisans
Zaman Renaisans dianggap sebagai
zaman pembukaan abad pemikiran abad modern. Dalam sejarah studi bahasa ada dua
hal pada jaman renaisans ini yang menonjol yang perlu dicatat,yaitu :
1) Sarjana-sarjana pada waktu itu menguasai
bahasa Latin, Ibrani, dan Arab,
2) Bahasa Eropa lainnya juga mendapat
perhatian dalam bentuk pembahasaan,
penyusunan tata bahasa, dan
perbandingan.
5. Menjelang Lahirnya Linguistik Modern
Diawali dengan pernyataan Sir
William tentang adanya hubungan kekerabatan antara bahasa Sansekerta dengan
bahasa-bahasa Yunani, Latin, dan bahasa Jerman lainnya telah membuka babak baru
sejarah linguistik, yakni dengan berkembangnya studi linguistik bandingan atau
linguistik historis komparatif, serta studi mengenai hakekat bahasa secara
linguistik terlepas dari masalah filsafat Yunani kuno.
II.
Linguistik Modern
Linguistik Modern ini lebih dikenal
dengan nama Linguistik Strukturalis. Linguistik ini berusaha mendiskripsikan
suatu bahasa berdasarkan ciri yang dimiliki bahasa itu. Adapun tokoh-tokoh
Linguistik modern adalah sebagai berikut :
1. Ferdinand De saussure
2. Leonard Bloomfield
3. John Rupert Firth
4. Noam Chomsky
BAB II. PEMBAHASAN
I.Teori Ferdinand De Saussure ( Aliran Struktural )
Teori
ini berdasarkan pola pikir behavioristik. Aliran ini lahir pada awal abad XX
yaitu pada tahun 1916 yang di pelopori oleh Ferdinand De Sausure (1858 – 1913),
seorang linguis Swiss yang sering disebut sebagai “Bapak Strukturalisme”
sekaligus “Bapak Linguistik Modern” karena pandangan-pandangannya yang baru
mengenai study bahasa, yang dimuat dalam bukunya yang terkenal Course de Linguistique yang diterbitkan
oleh murid-muridnya Charles Bally dan
Albert Schehaye ( Chaer,2009:66 ).
Tokoh-tokoh yang merupakan penganut teori ini adalah : Bally, Sachahaye, E.
Nida, L. Bloomfield, Hockett, Gleason, Bloch, G.L. Trager, Lado, Hausen,
Harris, Fries, Sapir, Trubetzkoy, Mackey, jacobson, Joos, Wells, Nelson.
Pandangan-pandangan Ferdinand De Saussure itu
antara lain mengenai :
1. Telaah Sinkronik dan diakronik
dalam studi bahasa.
2.
Perbedaan Langue
dan Parole
3.
Perbedaan signifiant
dan signifie’ sebagai pembentuk signe’ linguistique
4.
Hubungan sintagmatik
dan hubungan asosiatif atau paradigma
Keempat hal tersebut belum dikenal
dalam studi linguistik sebelumnya.Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut :
1. Telaah Sinkronik dan diakronik dalam
studi bahasa.
De Saussure membedakan telaah bahasa secara sinkronik dan telaah
bahasa secara diakronik :
a. Telaah
bahasa secara sinkronik
adalah mempelajari bahasa pada suatu waktu tertentu
b. Telaah
bahasa secara diakronik
adalah mempelajari bahasa dari
waktu ke
waktu.
Dalam literatur linguistik dinyatakan bahwa sejak Plato
hingga akhir abad ke-19 kajian kebahasaan bersifat diakronik. Saat itu hubungan
genetik pada tiap-tiap bahasa dicari ketersambungannya. Kehadiran Ferdinand de
Saussure, dengan karya monumentalnya Course
in General Linguistic, membawa perubahan pada kecenderungan itu. Sejak itu,
terjadi peralihan arah pada kajian linguistik, dari kajian diakronik menuju
sinkronik, dengan penelitian struktural-gramatikal menjadi titik tekannya.
Pemikiran inilah yang menjadi titik tolak munculnya aliran strukturalisme dalam
bahasa.
Ø Model Komunikasi Bahasa menurut
Ferdinant De Saussure
De Saussure menjelaskan bahwa
perilaku bertutur atau tindak tutur (speech act) sebagai satu rangkaian
hubungan antara dua orang atau lebih, seperti antara A dan B. Perilaku bertutur
itu terdiri dari dua bagian kegiatan:
1) Bagian luar.
Bagian ini dibatasi oleh mmulut dan
telinga
2) Bagian dalam
Bagian ini dibatasi oleh jiwa atau
akal yang terdapat dalam otak pembicara dan pendengar.
Ada 4 proses dalam tindak tutur /
komunikasi bahasa menurut De Saussure :
·
Fenomena psikologis:
Di dalam otak penutur A terdapat
konsep-konsep atau fakta-fakta mental yang dihubungkan dengan bunyi-bunyi
linguistik sebagai perwujudannya yang digunakan untuk mengeluarkan konsep
tersebut. Baik konsep maupun imaji bunyi itu terletak di suatu tempat yaitu di
pusat penghubung yang berada di otak. Jika penutur A ingin mengemukakan sebuah
konsep kepada pendengar B, maka konsep itu “membukakan” pintu kepada pewujudnya
yang berupa imaji bunyi yang masih berada di dalam otak.
·
Proses fisiologis
Dengan terbukanya pintu imaji bunyi
ini, otakpun mengirimkan satu impuls yang sama dengan imaji bunyi itu kepada
alat-alat ucap yang mengeluarkan bunyi.
·
Proses fisik
Gelombang bunyi itu bergerak dari
mulut A melewati udara ke telinga B.
·
Proses psikologis
Dari telinga B , gelombang bunyi
bergerak terus masuk ke otak B dalam bentuk impuls. Lalu terjadilah proses
psikologis yang menghubungkan imaji bunyi ini dengan konsep yang sama, seperti
yang ada dalam otak A.
Apabila B berbicara dan A
mendengarkan, maka proses yang sama akan terjadi pula.
2.Perbedaan “ Parole” dan “Langue”
Parole adalah bahasa yang konkret
yang keluar dari mulut seorang pembicara. Jadi karena sifatnya yang konkret itu
maka parole itu bisa didengar.
Sedangkan Langue adalah bahasa tertentu sebagai sistem tertentu. Jadi karena bersifat
abstrak, hanya ada dalam otak penutur bahasa yang bersangkutan.
Menurut
De Saussure linguistik murni mengkaji langue
bukan parole. Adapun alasannya
sebagai berikut :
1.
Langue bersifat sosial dalam pengertian
sinkronik dan berada dalam otak. Sedangkan parole
bersifat individual dalam pengertian idiosinkronik.
2.
Langue bersifat abstrak dan tersembunyi di
dalam otak sedangkan parole selalu
bergantung pada kemauan penutur dan bersifat intelektual.
3.
Langue adalah pasif sedangkan parole adalah aktif.
Jadi menurut De Saussure parole tidak layak dijadikan bahan
kajian linguistik karena sifatnya yang individual dimana apa yang keluar dari
mulut penutur dalam bentuk kalimat yang berubah-ubah dan bersifat
idiosinkretis. Sebaliknya langue
layak dijadikan bahan kajian linguistik karena bersifat sosial dimana di
kalangan anggota masyarakat yang dipertalikan satu sama lain oleh langue akan tercipta suatu average yang merupakan tanda atau
lambang yang sama dan berpola dan digabungkan dengan konsep-konsep yang sama
dan berpola, serta tidak berubah-ubah dari satu individu ke individu lain.
3. Perbedaan
signifiant dan signifie’ sebagai pembentuk signe’
linguistique
Bahasa
adalah alat komunikasi dalam masyarakat yang menggunakan sistem tanda yang
maknanya dipahami secara konvensional oleh anggota masyarakat bahasa yang
bersangkutan. Benny H. Hoed (2011) . Tanda bahasa ( signe’ linguistique ) terdiri dari dua unsur yang tak terpisahkan
yakni signifie’ (konsep/makna/penanda)
dan unsur signifiant (imaji
bunyi/bentuk/penanda). ( Istilah petanda dan penanda diambil dari kridalaksana,1989 ) Kedua unsur itu tak
terpisahkan seperti dua sisi selembar kertas. Hubungan antara penanda dan penanda,
yakni antara bentuk dan makna, didasari konvensi dalam kehidupan sosial. Kedua
unsur itu terdapat dalam kognisi para pemakai bahasa.
Ada beberapa ciri dari signe’ linguistique yaitu (Chaer,2009) :
1)
Tanda linguistik bersifat arbitrer
Hubungan
antara satu petanda/konsep dengan satu penanda/imaji bunyi bersifat kebetulan.
Namun, tanda linguistik itu tidak dapat berubah (immutable), tetapi sistem
bahasa dapat berubah.
2)
Signifiant dari suatu signe’ linguistique itu merupakan suatu
bentangan (span) yang dapat diukur dalam satu dimensi.
Hal ini
berarti bahwa bahasa dapat dianggap sebagai sebagai satu deretan atau urutan.
3)
Signe’
linguistique mempunyai pergandaan yang tidak dapat dihitung dengan
kata lain tanda linguistik jumlahnya tidak terbatas.
4. Hubungan sintagmatik dan hubungan asosiatif
atau paradigma
Hubungan Sintagmatik
adalah hubungan antara unsur-unsur yang terdapat dalam suatu tuturan, yang
tersusun secara berurutan, sifatnya linear. Hubungan sintagmatik termasuk dalam
tataran fonologi, morfologi, dan sintaksis.
1)
Pada Tataran
Fonologi
Urutan fonem-fonem pada suatu kata tidak dapat diubah tanpa menimbulkan
pemaknaan makna. Misalnya pada kata (kita) terdapat hubungan fonem-fonem dengan
urutan k-i-t-a, apabila urutannya diubah maka maknanya akan berubah, atau tidak
bermakna sama sekali.
- k > i > t > a s > a > p > u
- k > i > a > t u > s > a > p
- k > a > t > i s > u > p > a
- k > a > i > t a > s > u > p
- i > k > a > t
2)
Pada Tataran
Morfologi
(bentuk-bentuk bahasa)
Urutan morfem-morfem
pada satu kata juga tidak dapat diubah tanpa menyebabkan perbedaan makna,
mungkin tidak bermakna sama sekali. Morfem
adalah kesatuan bentuk bahasa terkecil yang mengandung arti dan makna.
Misalnya : -setiga tidak sama dengan tigasegi
-tertua tidak dapat diubah menjadi tauter
3)
Pada Tataran
Sintaksis
Urutan kata-kata dalam
satu kalimat kadang-kadang dapat diubah tanpa mengubah arti,
Misalnya:
- Hari ini barangkali dia sakit
- Dia sakit barangkali hari ini
- Barangkali dia sakit hari ini
tetapi kalimat berikut:
- Nita melihat ika ≠ ika melihat
nita
- Ini bir baru ≠ ini baru bir
Hubungan Paradigmatik adalah hubungan antara unsur-unsur yang terdapat
dalam suatu tuturan dengan unsur-unsur sejenis yang tidak terdapat dalam
tuturan yang bersangkutan. Hubungan paradigmatik dapat diperoleh dengan
cara subtitusi.
Sama halnya dengan hubungan sintagmatik, hubungan paradigmatik terdapat
juga dalam tataran fonologi, morfologi, dan sintaksis.
1) Tataran fonologi
- r ata
- k ata
- b ata
- m ata
2) Tataran morfologi
- me rawat
- di rawat
- pe rawat
- te rawat
3)Tataran sintaksis
- Ali membaca Koran
- Dia memakai baju
- Mereka makan kue
II.Teori Leonard Bloomfield
Leonard bloomfield (1877-1949) adalah
seorang tokoh linguistik Amerika. Dia sangat
terkenal dengan bukunya laguage (1933) dan selalu dikaitkan dengan aliran strukturalisme Amerika.
Aliran ini berkembang pesat di Amerika pada tahun 1950-an dan hal ini sangat berpengaruh terhadap perkembangan linguistik Amerika, terutama di sekolah linguistik YALE yang didirikan menurut ajarannya.
Aliran ini berkembang pesat di Amerika pada tahun 1950-an dan hal ini sangat berpengaruh terhadap perkembangan linguistik Amerika, terutama di sekolah linguistik YALE yang didirikan menurut ajarannya.
Suatu hal
yang menarik dari ciri aliran strukturalisme Amerika ini adalah cara kerja yang sangat menekan pentingnya data objektif
untuk menerima suatu bahasa. Pendekatan
bersifat empirik. Data di kumpulkan dengan cermat, setapak demi setapak.
Bentuk-bentuk fonologi, morfologi, dan sintaksis diklafikasi berdasarkan
distribusi
Unsur -unsur linguistik
diterangkannya berdasarkan distribusi unsur-unsur tersebut di dalam lingkungan (environment)
di mana unsur-unsur itu berada. Distribusi dapat diamati secara langsung
sedangkan makna tidak dapat.
Teori linguistik Bloomfield ini
akan bisa diterangkan dengan lebih jelas kalau kita mengikuti anekdot “Jack and
Jill” (Bloomfield, 1933:26). Dalam anekdot itu diceritakan Jack dan Jill
sedang berjalan-jalan. Jill melihat buah apel yang sudah masak di sebatang
pohon. Jill berkata kepada Jack hahwa dia lapar dan ingin sekali makan buah
apel itu. Jack memanjat pohon apel itu; memetik buah apel itu; dan
memberikannya kepada Jill. Secara skematis peristiwa itu dapat digambarkan
sebagai berikut.
PenjelasanS r. ………………………s R
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
(1) Jill melihat apel (S= stimulus)
(2) Otak Jill bekerja mulai dari melihat apel hingga berkata kepada Jack.
(3) Perilaku atau kegiatan Jill sewaktu berkata kepada Jack (r = respons)
(4) Bunyi-bunyi atau suara yang dikeluarkan Jill waktu berbicara kepada Jack (…)
(5) Perilaku atau kegiatan Jack sewaktu mendengarkan bunyi-bunyi atau suara yang dikeluarkan Jill (s=stimulus)
(6) Otak Jack bekerja mulai dari mendengar bunyi suara Jill sampai bertindak.
(7) Jack bertindak memanjat pohon, memetik apel, dan memberikan kepada Jill (R = respons).
Nomor (3), (4), dan (5) yaitu (r s) adalah lambang atau perilaku berbahasa (speech act) yang dapat diobservasi secara fisiologis; sedangkan yang dapat diamati atau diperiksa secara fisik hanyalah nomor (4).
Berdasarkan keterangan di atas maka yang menjadi data linguistik bagi teori Bloomfield adalah perilaku berbahasa atau lambang bahasa (r…………………….. s) dan hubungannya dengan makna (S R). Apa yang terjadi di dalam otak Jill mulai dari (1) hingga (2) sampai dia mengeluarkan bunyi tidaklah penting karena keduanya tidak dapat diamati. Begitu juga dengan proses yang terjadi di dalam otak Jack setelah dia mendengar bunyi-bunyi itu yang membuatnya bertindak (5 dan 6) adalah juga tidak penting bagi teori Bloomfield ini.
Menurut Bloomfield bahasa merupakan sekumpulan ujaran yang muncul dalam suatu masyarakat tutur (speech community). Ujaran inilah yang harus dikaji untuk mengetahui bagian-bagiannya. Lalu, bagi Bloomfield bahasa adalah sekumpulan data yang mungkin muncul dalam suatu masyarakat. Data ini merupakan ujaran-ujaran yang terdiri dari potongan- potongan perilaku (tabiat) yang disusun secara linear.
Teori linguistik Bloomfield didasarkan pada andaian-andaian dan definisi-definisi karena kita tidak mungkin mendengar semua ujaran di dalam suatu masyarakat tutur. Jadi, tidak mungkin kita dapat menunjukkan bahwa pola-pola yang kita temui dalam beberapa bahasa berlaku juga pada bahasa-bahasa lain. Ini harus diterima sebagai satu andaian. Kita tidak mungkin menunjukkan bahwa lambang-lambang ujaran dihubungkan dengan makna karena tidak mungkin mengenal satu per satu makna itu dalam data.
Menurut Bloomfield bahasa itu terdiri dari sejumlah isyarat atau tanda berupa unsur-unsur vokal (bunyi) yang dinamai bentuk-bentuk linguistik. Setiap bentuk adalah sebuah kesatuan isyarat yang dibentuk oleh fonem-fonem (Bloomfield, 1933;158). Umpamanya:
Pukul adalah bentuk ujaran.
Pemukul adalah bentuk ujaran
Pe- adalah bentuk bukan ujaran
Pukul terdiri dari empat fonem, yaitu : /p/, /u/, /k/, dan /l/. Di sini fonem /u/ digunakan dua kali.
Dari contoh di atas dapat dilihat bahwa setiap ujaran adalah bentuk, tetapi tidak semua bentuk adalah ujaran. Menurut Bloomfield ada dua macam bentuk, yaitu:
(1) Bentuk bebas (Free Form), yakni bentuk yang dapat diujarkan sendirian seperti bentuk Amat, jalan, dan kaki dalam kalimat “Amat jalan kaki”,
(2) Bentuk terikat (Bound Farm) yakni bentuk linguistik yang tidak dapat diujarkan sendirian seperti bentuk pe- pada kata pemukul; dan bentuk -an seperti pada kata pukulan.
Dalam teori linguistik Bloomfield ada beberapa istilah/term yang perlu dikenal, yaitu:
Fonem adalah : Satuan bunyi terkecil dan distingtif dalam leksikon suatu bahasa, Seperti bunyi [u] pada kata bahasa Indonesia /bakul/ karena bunyi itu merupakan bunyi distingtif dengan kata /bakal/. Di sini kita lihat kedua kata itu, /bakul/ dan /bakal/, memiliki makna yang berbeda karena berbedanya bunyi [u] dari bunyi [a].
Morfem adalah : Satuan atau unit terkecil yang mempunyai makna dari bentuk leksikon. Umpamanya dalam kalimat Amat menerima hadiah terdapat morfem : Amat, me-, terima, dan hadiah.
Frase adalah : Unit yang tidak minimum yang terdiri dari dua bentuk bebas atau lebih. Umpamanya dalam kalimat Adik saya sudah mandi terdapat dua buah frase, yaitu frase adik saya dan frase sudah mandi.
Kata adalah : Bentuk bebas yang minimum yang terdiri dari satu bentuk bebas dan ditambah bentuk-bentuk yang tidak bebas. Misalnya, pukul, pemukul, dan pukulan adalah kata, sedangkan pe-, dan -an bukan kata; tetapi semuanya pe-, -an, dan pukul adalah morfem.
Kalimat adalah ujaran yang tidak merupakan bagian dari ujaran lain dan merupakan satu ujaran yang maksimum. Misalnya Amat duduk di kursi, Amat melihat gambar, dan Ibu dosen itu cantik.
Bloomfield dalam analisisnya berusaha memenggal-menggal bagian - bagian bahasa itu, serta menjelaskan hakikat hubungan di antara bagian-bagian itu. Jadi, kita lihat bagian-bagian itu mulai dari fonem, morfem, kata, frase, dan kalimat. Kemudian beliau juga menerangkan lebih jauh tentang tata bahasa serta memperkenalkan banyak definisi, istilah, atau konsep yang terlalu teknis untuk dibicarakan di sini seperti konsep taksem, semem, tagmem, episemem, dan lain-lain. Oleh karena itu, teori Bloomfield ini disebut juga linguistik taksonomik karena memotong-motong bahasa secara hierarkial untuk mengkaji bagian-bagiannya atau strukturnya.
III.Teori John Rupert Firth
JR Firth
(1890 – 1960) adalah seorang linguis Inggris, yang pada tahun 1994 mendirikan
sekolah linguistik deskriptif di London. Menurut Firth kajian Linguistik yang
paling penting adalah konteks. Dalam teori Firth ada konteks fonologi,
morfologi, leksikon, dan situasi. Bahasa adalah susunan dari konteks – konteks
tersebut. Tiap konteks mempunyai peranan sebagai lingkungan untuk unsur – unsur
atau unit – unit tiap tingkat bahasa.
Menurut
Firth, struktur bahasa terdiri dari lima tingkatan yaitu tingkatan fonetik,
leksikon, morfologi, sintaksis, dan semantic. Yang menjadi unsur dalam tingkatan
fonetik adalah fonem, yang menjadi unsur dalam tingkatan morfologi adalah
morfem, yang menjadi unsur dalam tingkatan sintaksis adalah kategori – kategori
sintaksis; dan yang menjadi unsur dalam tingkatan semantik adalah kategori –
kategori semantik. Namun Firth lebih memusatkan perhatian pada tingkatan
fonetik dan semantik saja.
Arti
atau makna kata menurut teori Firth adalah hubungan antara suatu unsur
pada satu tingkatan dengan konteks unsur tersebut pada tingkatan yang sama.
Dengan kata lain arti tiap kalimat terdiri dari lima dimensi, yaitu :
1. Hubungan
tiap fonem dengan kontek fonetiknya (hubungan fonem satu sama lain dalam kata).
2. Hubungan
kata – kata satu sama lain dalam kalimat.
3. Hubungan
morfem pada satu kata dengan morfem yang sama pada kata lain, dan hubungannya
dengan kata itu.
4. Jenis
kalimat dan bagaimana kalimat itu digolongkan.
5. Hubungan
kalimat dengan konteks situasi.
Ada dua
jenis perkembangan dalam linguistik yang selalu dikaitkan dengan Firth, yaitu
(a) teori konteks situasi untuk menentukan arti dan (b) analisis prosodi dalam
fonologi. Teori konteks situasi ini menjadi dasar teori linguistik Firth;
beliau menolak setiap usaha untuk memisahkan bahasa dari konteksnya dalam
kehidupan manusia dan budaya. Firth menekankan bahwa makna merupakan jantung
dari pengkajian bahasa. Dalam hal ini Firth memperkenalkan dua kolokasi untuk
menerangkan arti, yaitu arti grammatikal dan arti fonologis.
Arti
grammatikal adalah peranan dari unsur – unsur tata bahasa di dalam konteks
grammatikal dari yang mendahului dan mengikuti unsure – unsur tersebut. Jadi
arti menurut kolokasi ini adalah abstraksi sintagmatik.
Arti
fonologi adalah peranan atau hubungan dari unsur – unsur fonologi di dalam
konteks fonologi dari struktur suku – suku kata dan unsur – unsur lain yang
bersamaan secara paradigmatik yang dapat berperan dalam konteks yang serupa.
Sebagai
linguis, firth dikenal juga sebagai tokoh analisis prosodi atau fonologi
prosodi. Analisis prosodi ini dapat digunakan untuk menganalisis bahasa dan
membuat pernyataan – pernyataan yang sistematik yang didasarkan pada penelitian
yang mendalam terhadap tata bahasa. Analisis prosodi ini menganggap ada dua
jenis fonologi yaitu :
1.
Unit – unit fonematik yang terdiri
dari konsonan – konsonan segmental dan unsur – unsur vokal yang merupakan
maujud yang dapat saling menggantikan dalam bermacam – macam posisi pada suku
kata yang berlainan.
2.
Prosodi – prosodi yang terdiri
dari fitur – fitur atau milik – milik struktur yang lebih panjang dari suatu
segmen, baik berupa perpanjangan fonetik, maupun sebagai pembatasan struktur
secara fonologi, seperti kata atau suku kata. Prosodi ini merupakan maujud yang
menjadi cirri khas suku – suku kata secara keseluruhan dan tidak dapat saling
menggantikan.
Secara
singkat bisa disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan prosodi menurut teori Firth
adalah struktur kata beserta cirri – cirri khas lagu kata itu sebagai sifat –
sifat abstraksi tersendiri dalam keseluruhan fonologi bahasa itu. Jadi yang
termasuk ke dalam fitur – fitur prosodi satu kata adalah :
1.
Jumlah suku kata
2.
Hakikat suku katanya : terbuka
atau tertutup
3.
Kualitas suku – suku kata
4.
Urutan suku – suku kata
5.
Urutan bunyi – bunyi vocal
6.
Tempat, hakikat, dan kuantitas
bunyi – bunyi penting
7.
Kualitas “gelap” atau ”terang”dari
suku – suku kata
8.
Ciri - ciri hakiki lagu suku kata
dan juga potongan kalimat tempat kata itu terdapat
9.
Semua sifat yang menyangkut
struktur suku kata, urutan suku kata, dan keharmonisan suku kata dalam kata,
potongan kalimat dan keseluruhan kalimat
IV. Teori Noam Chomsky
Nama lengkapnya adalah Avram Noam Chomsky (lahir di Philadelphia, Pennsylvania, Amerika Serikat, 7 Desember 1928 ),Ia adalah seorang profesor linguistik dari Institut
Teknologi Massachusetts (MIT). Salah satu reputasi Chomsky di bidang linguistik
terpahat lewat teorinya tentang tata bahasa generatif. Ia menjadi sangat terkenal dengan
bukunya yang berjudul Syntactic Structures (1957). Dengan munculnya buku ini,
timbullah fase linguistic baru,yaitu revolusi ilmiah dalam bidang linguistic.
Noam Chomsky adalah ahli linguistic
yang cukup produktif dalam membuat buku. Chomsky telah menulis lebih dari 30
buku politik, dengan beragam tema. Kepakarannya di bidang linguistik ini
mengantarkannya merambah ke studi politik. Dan sejak 1965 hingga kini, dia
menjelma menjadi salah satu tokoh intelektual yang paling kritis terhadap kebijakan
luar negeri Amerika Serikat. Buku-buku bertema politiknya kerap
dianggap terlalu radikal untuk diresensi atau ditampilkan media AS.
Selama lima dasawarsa ini, Chomsky
telah menjalin kontrak secara langsung dengan lebih dari 60 penerbit di seluruh
dunia dan sudah menulis lebih dari 30 buku bertema politik. Dan baris-baris
kalimat dalam tulisannya muncul di lebih dari 100 buku, mulai dari karya ilmiah
tentang linguistik, politik, hingga kumpulan kuliah, wawancara dan esai.
Pemikiran Linguistik Noam Chomsky
1.
Teori
Generatif Transformasi dan Pemerolehan Bahasa
Teorinya terkenal dengan nama, tata
bahasa transformasional generatif (Transformational Generatif Grammar) atau
tata bahasa generative. Transformasi adalah memberikan beberapa tanda yang
memungkinkan penutur dan pendengar memahami suatu kalimat. Sedangkan
Generatif mengandung 2 (dua) makna, yaitu :
1. Produktivitas dan kreativitas.
Bahasa adalah sesuatu yang dihasilkan penutur tanpa terikat oleh berbagai unsur
bahasa itu sendiri.
2. Keformalan dan dan eksplisit. Dari
sudut pandang ini dapat dikatakan bahasa dikombinasikan atas unsur dasar berupa
(Fonem, morfem, dan lain sebagainya)
Adapun Gramatika mempunyai
pengertian keseluruhan kaidah yang ada pada jiwa pemakai bahasa yang mengatur
serta berfungsi untuk melayani pemakai bahasa.
Chomsky mendasarkan teorinya
ini atas dasar asumsi bahwa bahasa menjadi bagian dari komponen manusia dan
produk khas akal manusia. Karena unsur yang membedakan manusia dengan
hewan adalah kecerdasan dan kemampuannya berfikir. Bagi Chomsky (1968) tata
bahasa merupakan system kaidah yang menghubungkan bunyi dan arti. Dan tata bahasa
itu harus memenuhi dua syarat , yakni :
1. Kalimat yang muncul harus berfungsi
dalam ujaran, sebagai kalimat yang wajar dan tidak dibuat-buat
2. Tata bahasa tersebut harus bersifat
umum dan tidak berdasarkan pada gejala bahasa tertentu.
Baginya kemampuan berbahasa pada
manusia bukanlah produk (setting) alam, melainkan merupakan potensi bawaan
manusia sejak lahir. Teori ini, ia kemukakan sebagai hasil dari penelitian yang
ia lakukan pada perkembangan berbahasa seorang anak dalam hal pemerolehan
bahasa berdasarkan teori hipoteseis atau teori kodrati. Melalui
pendekatan nativis Chomsky mengemukakan bahwa adanya ciri-ciri bawaan bahasa
untuk menjelaskan pemerolehan bahasa asli pada anak dalam tempo begitu singkat
sekalipun ada sifat amat abstrak dalam kaidah-kaidah bahasa tersebut.
Seorang anak dapat menguasai bahasa
ibunya dengan mudah dan cepat, bahkan pengetahuan itu juga diikuti oleh sense
of language dari bahasa itu, yang lebih mengarah pada keterampilan dalam tata
bahasa. Mereka dapat mengenal bahasa itu sehingga mampu merangkai kalimat
dengan tepat, meski mereka tak mungkin bisa menjelaskannya.
Hal itu, ia yakini sebagai kemampuan
naluriah yang diberikan oleh Tuhan kepada manusia. Suatu hal yang mustahil bila
kemampuan itu dianggap sebagai hasil pembelajaran, dari alam atau kedua orang
tuanya. Penguasaan terhadap tata bahasa sebuah bahasa bukanlah hal yang mudah,
terlebih untuk tingkat kanak-kanak.
Menurut Chomsky, fokus teori bahasa
adalah upaya menandai kemampuan abstrak yang dimiliki pembicara,
memungkinkan pembicara menggunakan kalimat-kalimat yang secara gramatikal benar
dalam suatu bahasa.
Kaidah-kaidah yang sangat Chomsky
perhatikan ini mencakup fonetik, fonologi, morfologi, sintaksis dan makna-makna.
Tetapi, Chomsky lebih fokus pada aspek dari kaidah sintaksis dan morfologi
secara khusus. Mengapa ? karena menurutnya aspek alamiahlah yang asli dan
pokok berupa kalimat yang menjadi pokok untuk membentuk bahasa dan analisa
bahasa, kemudian kepadanya kaidah-kaidah fonetik dan makna-makna itu
didasarkan.
Teori Generatif-Transformasi yang
diletakkan oleh Chomsky adalah teori modern paling menonjol yang mencerminkan
kemampuan akal, membicarakan masalah kebahasaan dan pemerolehannya, serta
hubungannya dengan akal dan pengetahuan manusia. Bahwa manusia lahir dengan
kapasitas genetik juga mempengaruhi kemampuan kita memahami bahasa di sekitar
kita, yang hasilnya adalah sebuah kontruksi system bahasa yang tertanam dalam
diri kita. Menurut Chomsky, pengetahuan bawaan ini diumpamakan dengan “kotak
hitam kecil” di otak, sebagai sebuah perangkat pemerolehan bahasa atau language
acquisition device (LAD). McNeill (1966) memaparkan LAD meliputi empat
perlengkapan linguistic bawaan
1.
Kemampuan membedakan bunyi wicara
dari bunyi-bunyi lain di lingkungan sekitar
2. Kemampuan menata data linguistik ke
dalam berbagai kelas yang bisa disempurnakan kemudian
3.
Pegetahuan bahwa hanya jenis sistem
linguistik yang mungkin sedang yang lainnya tidak
4. Kemampuan untuk terus
mengevaluasi sistem linguistik yang
berkembang untuk membangun kemungkinan sistem paling sederhana berdasarkan
masukan linguistik yang ada
Walaupun harus diakui bahwa LAD
secara harfiah bukanlah segugus sel otak yang bisa ditunjuk dan ditentukan
letaknya dan ditentukan letaknya. Namun demikian, para Chomsky-an berpendapat
bahwa gagasan tentang bakat linguistik bawaan sepenuhnya cocok dengan teori
generative; anak-anak diyakini memanfaatkan kemampuan bawaan untuk menghasilkan
sejumlah ujaran yang kemungkinannya tak terbatas.
Untuk melanjutkan penyelidikan
tentang hal ini, maka kaum nativis melakukan sebuah penelitian yang kemudian
dikenal sebagai tata bahasa universal (universal grammar). Hal ini
berkaitan erat dengan masalah logika bahasa (input bahasa) dan kemampuan berbahasa,
dalam pandangan Chomsky dan para pendukungnya, terkandung istilah yang
dinamakan “kaidah-kaidah alami universal” (the innate universal
grammar)”. Kaidah alami-universal ini merupakan kemampuan akal yang tertata
yang dengannnya manusia bisa mengetahui kaidah-kaidah bahasa tanpa mempelajari
kaidah-kaidah ini dalam bentuk teori tradisional.
Pada umumnya, semua bahasa memiliki
kesamaan kaidah-kaidah dan system yang bersifat universal dan tidak ada
kekhususan bagi bahasa tertentu yang terdapat pada anak, meskipun berbeda
bahasa dan pendidikannya. Artinya, kaidah ini mengandung system yang permanen
yang ada dalam akal manusia. Karena itu, pemerolehan kaidah-kaidah ini
merupakan kemampuan kodrati yang dimiliki semua orang yang normal, apapun
bahasa ibunya, atau apapun budan dan tingkat pendidikannya.
2. Struktur Dalam dan Struktur luar
Wilhem Von Humboldt berpendapat bahwa
bahasa adalah bunyi (Lutform), dan pikiran (idennform/innereform). Atau dengan
kata lain bunyi bahasa merupakan bentuk luar, sedangkan pikiran adalah bahasa
yang kita rasakan (bathin) bentuk dalam.
Dalam teorinya ini, Chomsky sangat
menaruh perhatian besar pada kaidah yang diistilahkan oleh dengan “system
yang dalam akal penutur bahasa yang berbentuk bathin,, yang diperolehnya semasa
kecil”
Analisa bahasa khususnya sintaksis
disamping tataran yang lebih konkrit berupa bentuk-bentuk sintaksis atau struktur
atas (surface structure), terdapat juga tataran yang lebih abstrak yaitu
struktur bawah (deep structure). Struktur bawah inilah yang menjadi landasan
utama dalam pembahasan teori Generatif Transformasi.
Struktur dalam, kadang juga disebut
struktur bathin-kalimat didefinisikan sebagai “konsep pengetahuan tersembunyi
yang dimiliki oleh penutur bahasa yang dengannya ia bisa mengetahui kaidah
bahasanya” atau dengan ungkapan lain adalah untuk mengatur struktur kalimat dan
menentukan semua factor untuk memahami kalimat dan maknanya; karena hubungan
nurani antara bagian-bagian kalimat dalam tataran ini, jelas, dan dapat ia
mengerti”.
Adapun-struktur-luar-bahasa adalah
fase akhir dari proses pembentukan kaidah dalam membuat kalimat setelah
mengaplikasikan kaidah-kaidah transformasi tertentu atas struktur dalamnya. Ia
adalah bentuk lahiriah bunyi yang diucapkan dan didengar atau dibaca.
Atas dasar ini, sintaksis, bukanlah studi kumpulan contoh-contoh kalimat
dalam suatu bahasa, tetapi ia hanyalah sebuah system yang ada adalam akal si
penutur bahasa, yang diperolehnya sejak anak-anak. Fungsi teori bahasa adalah
mengetahui system ini. System tersebut diistilahkan dengan competence
(kemampuan) yang dikontraskan dengan performance (perbuatan berbahasanya).
Dengan demikian, Chomsky jelas menolak analisis bahasa dibatasi pada tataran
fonologi dan morfologi yang hanya berdasarkan struktur lahir (surface
structure). Tanpa struktur bathin (deep structure). Bahkan ia menganggap bahwa
cara seperti ini adalah titik paling lemah dalam menganalisa bahasa. Karena
bahasa aadalah aktivitas akal.
Jadi nahwu (sintaksis) merupakan
kaidah yang berdasarkan hubungan antara struktur-dalam-bahasa dan
struktur-luar-bahasa yang menentukan makna suatu kalimat. Hubungan tersebut
dinamakan transformasi atau dalam hal disebut dengan tata bahasa transformasi
adalah proses produksi kalimat melalui perantara kaidah-kaidah transformasi,
yakni mengalihkan struktur bahasa dalam kepada struktur bahasa luar. Kemudian
struktur bahasa luar tersebut dianalisis.
3. Kreativitas dalam berbahasa
Masalah penting lainnya yang dibahas
dalam teori Generatif-Transformasi adalah daya kreativitas dalam bahasa. Dengan
kata lain, teori ini menekankan pentingnya bahasa kreatif-salah satu sifat
dasar manusia yang bersifat kolektif. Bahasa kreatif inilah yang membedakannya
dari bahasa artifisial (buatan). Sekaligus menjadi titik perbendaan aliran
kognitif dan aliran behaviorisme.
Pengalaman berbahasa, memberikan
pengaruh yang sangat signifikan terhadap perkembangan bahasa manusia itu
sendiri-bagaimana pada akhirnya merupakan bentuk prilaku yang paling cerdas
yang dimiliki manusia. Kecerdasan linguistic merupakan kecerdasan yang paling
universal dan penting dalam kehidupan manusia.
Seorang amat berbakat bahasa
mempunyai sensitifitas yang tinggi terhadap bunyi dan fonologi bahasa.
Mereka biasanya mahir memanipulasi sintaksis (nahwu-struktur atau susunan
kalimat bahasa). Demikian pula halnya tentang semantik ( ma’ani-pemahaman
mendalam tentang makna).
Kemampuan kreatifitas ini terbentuk
dari pengetahuan manusia yang alami terhadap kaidah-kaidah bahasa yang
terbatas. Dari sinilah muncul penamaan teori ini dengan nama teori generative.
Sebagaimana yang telah dijelaskan.
Chomsky mengisyaratkan bahwa tujuan
berbahasa adalah agar penutur bahasa tertentu bisa mengcreate atau menciptakan
dengan daya kreasinya kalimat-kalimat baru dan memahaminya dengan benar,
meskipun sebelumnya ia tidak pernah mendengarnya.
Jadi komponen kecerdasan linguistic
yang paling penting adalah kemampuan menggunakan bahasa untuk mencapai sasaran
praktis (pragmatika). Kreatifitas berbahasa menunjukan bahwa bahasa tidak
sekedar pembelajaran daftar kalimat yang dihasilkan penutur sejatidan
mengulanginya seperti burung beo. Kebaruan kalimat yang dibuat itu menunjukan
perlawanan teori aliran behaviorisme bahwa belajarbahasa adalah pemerolehan
seperangkat kebiasaan (linguistic habits)
4. Kompetensi dan performa
Masalah kreativitas dalam bahasa,
berpengaruh besar terhadap pemeroleh bahasa. Demikian, karena kreativitas akan
membedakan adanya kompetensi (kifayah lughawiyah-pengetahuan yang
dimiliki pemakai bahasa tentang bahasanya) dan performance (al-‘ada
al-lughawi-perbuatan berbahasa). Chomsky dalam banyak tulisannya,
menjelaskan kajian bahasa seharusnya dijadikan untuk menyingkap kompetensi ini,
dan tidak hanya melihat perbuatan berbahasa.
Linguistik bagi Chomsky adalah
terutama berkaitan dengan kompetensi yang terdiri atas dua jenis: kompetensi
pragmatic dan kompetensi gramatikal.
Kompetensi berbahasa adalah pengetahuan tentang kaidah-kaidah
bahasa yang dimiliki oleh penutur bahasa secara bathin. Kompetensi menunjuk
pada pengetahuan dasar seseorang tentang system, kejadian dan fakta. Ini adalah
kemampuan yang tak teramati dalam melakukan sesuatu atau menampilkan sesuatu.
Sebaliknya Performance merupakan
aplikasi dari pengetahuan tersebut dalam memahami melalui mendengarkan
(listening), berbicara (speaking), dan menulis (writing). Ini adalah tindakan
nyata, seperti berjalan, menyanyi, menari dan berbicara. Artinya kemampuan
berbahasa merupakan esensi akal yang tersembunyi dibalik perbuatan berbahasa;
sedangkan perbuatan berbahasa itu sejatinya adalah cerminannya. Tetapi
adakalanya, perbuatan bahasa menyimpang dari pengetahuan ini, karena
sebab-sebab yang muncul, seperti kelelahan, sakit, salah ucap atau salah tulis.
Tentang bagaimana kompetensi ini
diperoleh, sebenarnya berkaitan dengan pemerolehan bahasa itu sendiri. Dalam
hal ini, menurut pandangan Chomsky, anak yang tumbuh dan besar dilingkungan
bahasa tertentu, ia mendapatkan pengetahuannya dengan fitrah alami, tanpa perlu
belajar tentang kaidah bahasa dalam bentuk teori langsung.
Dalam hal ini Chomsky berpendapat :
“… Teori linguistic utamanya berkenaan dengan pasangan ideal
pembicara-pendengar dalam suatu masyarakat bahasa yang homogeny, yang
mengetahui bahasanya secara sempurna dan tidak terpengaruh oleh kondisi secara
gramatiakl tidak sesuai, seperti keterbatasan ingatan, penyimpangan, pergantian
perhatian dan minat, dan kesalahan-kesalahan (acak atau khas) dalam
mengaplikasikan pengetahuan bahasanya dalam performansi nyata”.
Menurut Chomsky, focus teori bahasa
adalah upaya menandai kemampuan abstrak yang dimiliki pembicara, memungkinkan
pembicara menggunakan kalimat-kalimat yang secara gramatikal benar.
Hipotesis Natural dan Kaidah Universal
Pengetahuan alami, dalam pandangan
Chomsky, menjadi masalah mendasar yang kemudian ia namakan dengan istilah
‘hipotesis” atau teori alami. Bagaimana memperoleh bahasa berdasarkan
pendekatan fitrah-alami manusia.
Bahwa kesemestaan bahasa harus
bertolak dari satu bahasa bukanlah suatu keniscayaan menurut asal usul
perkembangan bahasa itu sendiri. Macam-macam semesta bahasa, yaitu:
pertama : semesta subtantif adalah
semestaan yang berbentuk kategori-kategori yang terdapat dalam tiap tataran
pada semua bahasa didunia. Dalam hal fonologi misalnya, semua bahasa memiliki
vocal. Semesta subtantif membatasi kelas-kelas bahasa dalam dua cara yaitu :
suatu semesta merupakan keharusan yang ada pada tiap bahasa. Dan bahasa yang
terdapat dalam suatu wilayah mungkin menunjukan kaidah, kalau dilihat secara
bersama-sama pada semua bahasa diwilayah itu.
Kedua, semesta
formal merupakan semesta yang berwujud kaidah-kaidah bentuk lahir.
Kemampuan memperoleh kemampuan
bahasa itu telah tertanam dalam dirinya sejak ia lahir. Karena itu siapapun
yang lahir dilingkungan manusia tertentu, ia akan memperoleh bahasa
lingkungannya itu, tanpa melihat tingkat pendidikan dan sosialnya- selama ia
tdak mengalami hambatan kuat, baik mental, maupun fisik yang menghalanginya
dalam mendengar, memahami dan menggunakannya. Maksudnya bahasa menurut teori
ini bukanlah prilaku yang diperoleh dengan cara belajar, berlatih fisik dan
praktek, seperti yang dipercaya kaum behaviori. Bahasa adalah fitrah akal yang
merupakan pembawaan akal. Kaidah universal melahirkan tata bahasa (grammar)
yang diaplikasi dala teori kodrati sebagaimana telah dijelaskan.
Dari kaidah tersebut, Chomsky
menyimpulkan bahwa semua kaidah bahasa terbagi pada dua bagian yaitu prinsip
dan parameter. Sedangkan Chomsky membaginya kedalam Core Grammar
(Prinsip) dan peripheral grammar (parameter). Core Grammar (kaidah dasar)
atau diistilahkan dengan nama unmarked rules (kaidah tidak bertanda)
adalah karakteristik tetap semua bahasa yang dipelajari mempunyai kesamaan
dengan mayoritas bahasa didunia. Dalam hal ini Marastos (1988) menyebutkan
beberapa kategori linguistic universal, yang menjadi prinsip, yakni ;
ü Susunan kata
ü Nada penanda morfologis
ü Persesuain gramatikal ( misalnya
menyangkut subjek dan kata kerja)
ü Referensi tereduksi
ü Predikatif
ü Negatif
ü Pembentukan pertanyaan
Sedangkan peripheral grammar (kaidah
tersendiri, bukan pokok) atau diistilahkan dengan nama marked rules ( kaidah
yang bertanda) adalah kaidah khusus yang bahasa tersebut yang tidak ada pada
mayoritas bahasa.
Sebuah kerangka generative ternyata
ideal untuk menjelaskan proses pemerolehan bahasa. Maka lahirlah apa yang
disebut tata bahasa awal pada bahasa anak-anak disebut tata bahasa poros (pivot
grammars). Perhatikan ujaran berikut : “my cap”, “that horsie”, bye-bye Jeff”,
Mommy sock”. Dengan deskripsi :
Kalimat
kata poros
+ kata terbuka
Kata-kata pertama kita sebut poros
(my, that, bye-bye), dan kelompok kedua disebut kata terbuka (cap, horsie,
mommy, sock)
Berikut secara sederhana kami
sampaikan beberapa analisa transformasi menurut Chomsky;
1.
Transformasi Aktif dan Pasif
Contoh ;
Analisa struktur
: GN1 – (me N) +
Vt – GN2
1
2
3
4
Perubahan Struktur : 1-2-3-4---à 4+di-+3+oleh+1
Jika Vocabularinya berupa kalimat :
Adik membantu
kakak
1
2
3
4
Maka hasil transformasi pasif menjadi :
Kakak
dibantu
oleh adik
4
di-3
oleh
1
2.
Transformasi Umum
Contoh : Pembantu mengejar
ayam itu
1
2
3
Pembantu menangkap
ayam itu
4
5
6
Digabungkan menjadi -----à 1-2 dan 5-3
Hasilnya : Pembantu mengejar dan menangkap
ayam itu
1
2
5
3.
Diagram Pohon
Kaidah :
K
FB
FK
KB
KK
FB
KB
Ibu
mencuci pakaian
Atau dengan menggunakan tanda kurung:
Ibu
mencuci pakaian
BAB III.
PENUTUP
Tongkat Pembabakan pendapat dimulai
dari dua bukunya yaitu Syntactic Structures (1957) dan Aspect of theory of
syntac (1965). Berdasarkan kedua buku tersebut Teori Generatif Tranformasi ini
secara tegas memang menyatakan keluar dari aliran struktural Bloomfield dan
menolak teori Behaviorisme. Namun tetap, bahwa kajiannya tak terlepas dari
unsur kalimat yang merupakan focus kajian sintaksis.
Teori ini mengundang berbagai kritik
dari ahli bahasa, sehingga menampakan beberapa kelemahan dari teori Chomsky
salah satunya adalah isu sentral tentang kapasitas manusia dalam pemerolehan
bahasa. Hal ini membutuhkan penjelasan secara ilmiah dan menyakinkan akan
pewarisan genetic terhadap kemampuan linguistiknya. Bagaimanapun bahasa adalah
bagian integral yang tidak terpisahkan dari manusia, wujud dari kemampuan
akalnya yang mampu mengeksplorasikan semesta dengan bahasanya sendiri, tanpa
takut akan kesalahan berbahasa secara gramatikal dan terbebas dari aturan yang
ada.
Teori Chomski erat kaitannya dengan
kajian psikologi bahkan dalam beberapa pendapatnya agak sulit untuk membedakan.
Karena keduanya disajikan dalam satu bingkai. Lebih jauh, masalah psikologi
adalah membahas sesuatu yang sangat abstrak dan unik. Maka, wajar saja bila
teori ini sangat menarik dan mengundang banyak kontroversi (kritik). Terlebih
bahasa itu adalah bahasa manusia yang terus mengalami perkembangan sesuai
dengan konteks manusia itu sendiri.
Benny H. Hoed (2011) dalam bukunya Semiotik &
Dinamika Sosial Budaya membahas empat konsep penting dari Saussure yang
perlu dipahami.
1. Teori Sosial tentang Bahasa dan Tanda Bahasa:
Signifiant-Signifie
Bahasa adalah alat komunikasi dalam masyarakat yang
menggunakan sistem tanda yang maknanya dipahami secara konvensional oleh
anggota masyarakat bahasa yang bersangkutan. Tanda bahasa terdiri dari dua
unsur yang tak terpisahkan yakni unsur citra akustik (bentuk) (significant/penanda)
dan unsur konsep (signifie/petanda). Kedua unsur itu tak terpisahkan seperti
dua sisi selembar kertas. Hubungan antara pendanda dan pertanda, yakni antara
bentuk dan makna, didasari konvensi dalam kehidupan sosial. Kedua unsur itu
terdapat dalam kognisi para pemakai bahasa.
2. Hubungan Antartanda
Menurut Saussure, bahasa menggunakan tanda yang dimaknai
secara konvensional. Tanda-tanda bahasa itu tersusun dalam rangkaian yang
disebutnya rangkaian "sintagmatik".
Dalam hal ini, tanda bahasa berada dalam relasi sintagmatik, yakni rangkaian
tanda yang berada dalam ruang dan waktu yang sama atau relasi in praesentia.
Contoh yang dapat kita berikan dari bahasa Indonesia adalah:
Ali --> makan --> nasi.
Urutan ketiga kata itu tidak bersifat sebarang, tetapi
dipedomani oleh kaidah (langue) bahasa Indonesia. Jadi, arah panah pada
contoh di atas tidak hanya memperlihatkan urutan (karena bahasa bersifat
linear), tetapi juga hubunga fungsi sintaktis:
Subjek --> Predikat --> Objek.
Kata-kata (baca: unsur bahasa) yang berada dalam
relasi sintaggmatik tersusun dalam sebuah struktur. Kita dapat melihat pada
kalimat di atas adanya struktur, yakni unsur-unsur (Ali, makan, nasi) yang
masing-masing menempati "tempat kosong" yang kita sebut
"gatra". Sesuai dengan kaidah (langue) Bahasa Indonesia, gatra
dapat diisi oleh unsur bahasa tertentu. Jadi, gatra adalah "tempat
kosong" yang terdapat sebelum, di antara dan sesudah panah, dalam contoh
di atas, yang dapat kita sebut gatra:
(1) --> (2) --> (3).
Dalam sintaksis (1), (2), dan (3) masing-masing disebut
fungsi sintaksis dan dalam hal ini setiap fungsi itu dapat diisi kata tertentu
sesuai kaidah bahasa Indonesia. Dalam contoh yang pertama Ali --> makan
--> nasi, gatra (1) dapat diisi oleh kata seperti Amat, Ida, ia,
mereka atau kucing saya. Namun, kata-kata itu tidak dapat berada di
ruang (dan waktu) yang sama. Hubungan antara kata-kata itu bersifat asosiatif.
Kata-kata yang dapat masuk ke dalam suatu gatra itu
tergolong dalam kategori yang sejenis, biasanya dianggap masuk dalam paradigma
yang sama. Hal yang sama juga terjadi pada makan yang memunyai relasi asosiatif
dengan kata seperti menanak, menyendok dan membungkus nasi. Begitu seterusnya,
setiap gatra hanya dapat diisi unsur bahasa yang memenuhi syarat tertentu.
Oleh karena itu relasi asosiatif kemudian
disebut juga sebagai relasi paradigmatik. Pada
tataran langue, setiap penutur bahasa menguasai semacam jejaring
unsur-unsur bahasa yang terolong-golong dalam paradigma. Jadik, sekaligus semua
unsur itu dapat saling membedakan diri. Jejaring ini disebut sistem.
3. Teori tentang "Langue" dan
"Parole"
Dalam memahami bahasa sebagai alat komunikasi dan
sebagai gejala sosial, de Saussure melihat ada dua tataran yang berkaitan satu
sama lain. Bahasa sebagai gejala sosial disebut "langgage" yang
terdiri atas dua tataran. Tataran pertama--pada tataran sosial atau lintas
individu--adalah yang disebut "langue", yakni tataran konsep dan
kaidah. Tataran dibawahnya adalah yang disebutnya "parole", yakni
tataran praktik berbahasa dalam masyarakat.
Menurut de Saussure langue (kaidah) menguasai parole
(praktik berbahasa). Tanpa menguasai langue seorang tidak dapat ikut
serta mempraktikan langage dalam sebuah masyarakat bahasa. Jadi, kita tidak
akan dapat mempraktikan parole bahasa Urdu kalau kita tidak menguasai
dulu langue dari langage Urdu. Konsep ini dapat diterapkan
pada gejala nonverbal.
De Saussure memberi contoh yang sangat terkenal yaitu
"permainan catur". Para pemain sebagai "komunitas pecatru"
menguasai kaidah permainan tersebut, yakni langue, antara lain
aturan tentang cara menjalankan setiap jenis bidak catur, misalnya
"kuda" mengikuti gerakan "huruf L", "raja" hanya
bisa bergerak satu kotak demi satu kota, "ratu" dapat bergerak
melewati semua kotak kecuali berjalan secara diagonal, dan seterusnya. Kaidah
itu mengarahkan bagaimana pecatur harus menjalankan bidaknya, yaitu parole.
4. Bahasa yang Utama adalah yang Lisan
Saussure
meyakini bahwa bahasa tulis merupakan "turunan" dari bahasa lisan.
Jadi bahasa yang utama adalah bahasa lisan. Bahasa yang sebenarnya adalah
bahasa lisan. Ini merupakan kritik terhadap para peneliti bahasa yang terlampau
terfokus pada bahasa tulis yang oleh de Saussure dipandang sebagai "tidak
alamiah". Setelah berbicara tentang "langue" dan "parole"
sebagai baian dari "langage", de sussure membicarakan
pentingnya bahasa lisan. "Langage" yang utama adalah bahasa
lisan, yang merupakan objek kajian utama linguistik. Menurut Saussure, tulisan
sering dianggap bahasa yang ;menurunkan bahasa lisan karena penelitian
bahasa-bahasa kuno (seperti Yunani, Latin dan Sansekerta) memberikan citra
bahwa bahasa tertulis lebih berprestise. Padahal tulisan adalah turunan dari
bahasa lisan yang menurut de Saussure diatur oleh "langue", sedangkan
tulisan merupakan sistem yang berbeda. Bahasa lisan juga dianggap yang utama
karena menurut de Sussure makna lebih dekat pada yang lisan daripada yang
tertulis. Objek kajian utama linguistik adalah bahasa lisan.
Dalamliteratur linguistik dinyatakan bahwa sejak Plato
hingga akhir abad ke-19 kajiankebahasaan bersifat diakronik. Saat itu hubungan
genetik pada tiap-tiap bahasa dicariketersambungannya.Kehadiran Ferdinand de
Saussure, dengan karya monumentalnya Course in General Linguistic, membawa
perubahan pada kecenderungan itu. Sejak itu, terjadiperalihan arah pada kajian
linguistik, dari kajian diakronik menuju sinkronik, denganpenelitian
struktural-gramatikal menjadi titik tekannya. Pemikiran inilah yang
menjadititik tolak munculnya aliran strukturalisme dalam bahasa.Pada 1930-an,
diadakan penelitian untuk mencari landasan teoretis yang
III.
dilakukan Leonard Bloomfield. Dia menemukan teori behaviouris yang
diabadikandalam karyanya berjudul Language. Dalam penemuannya itu, ia
menandaskan,kemampuan berbahasa manusia adalah bentukan dari alam (lingkungan),
manusia itudibesarkan. Bagaikan kertas kosong, alam mengisi dan membentuk
kemampuanmanusia itu. Dalam pembahasan asal-usul bahasa, konsep Bloomfield ini
dikenaldengan teori tabularasa (Komaruddin Hidayat, 2004).
IV.
V.
Namun, nasib teori ini tidak berumur panjang. Popularitasnya tersaingi
olehkonsep linguistik generatif dari Noam Chomsky.Dalam bukunya Logical
Structure of Linguistic Theory, Chomsky menyanggahteori behaviouris. Baginya,
kemampuan berbahasa pada diri manusia bukanlah produk
VI.
VII.
(setting) alam, melainkan lebih merupakan potensi bawaan manusia sejak
lahir.Teori itu, ia kemukakan sebagai hasil dari penelitian yang ia lakukan
padaperkembangan berbahasa seorang anak. Seorang anak dapat menguasai
bahasaibunya dengan mudah dan cepat, bahkan pengetahuan itu juga diikuti oleh
sense of language dari bahasa itu, yang lebih mengarah pada keterampilan
dalam tata bahasa.Mereka dapat mengenal cita rasa bahasa itu sehingga mampu
merangkai kalimatdengan tepat, meski mereka tak mungkin bisa menjelaskannya.Hal
itu, ia yakini sebagai kemampuan naluriah yang diberikan oleh Tuhankepada manusia.
Suatu hal yang mustahil bila kemampuan itu dianggap sebagai hasilpembelajaran,
dari alam atau kedua orang tuanya. Penguasaan terhadap tata bahasasebuah bahasa
bukanlah hal yang mudah, terlebih untuk tingkat kanak-kanak.
VIII. benarnya, dia tidak
serta-merta menolak teori behaviouris secara total, iamengakui peran serta alam
dalam membentuk potensi bawaan ini. Bila bayi orangJepang dibawa dan dibesarkan
di Indonesia, ia akan menguasai bahasa serta tata
IX.
X.
bahasa Indonesia, dan begitu juga dengan bayi-bayi lainnya. Oleh karena
itulah,Chomsky meyakini bahasa potensial, yang ada pada setiap manusia, itu
sebagaibahasa universal.Teori linguistik Chomsky itu terlihat lebih humanis
daripada teori behaviouris. Aliran behaviourisme menganggap manusia
sebagai patung yang diukir oleh sang
XI.
XII.
arsitek bernama lingkungan, atau bagaikan robot yang sudah diatur
sedemikian rupaoleh ilmuwan penciptanya.Baginya, sah-sah saja untuk menerapkan
metode ilmiah dalam linguistik, tetapibukan dengan menjadikan manusia sebagai
objek studi, seperti benda mati. Cara yangseharusnya ditempuh adalah dengan
mengadopsi metode-metode ilmiah, seperti logikadan analisis, dalam kajian
linguistik. Itulah hakikat sains.Tetapi patut disayangkan, bahwa pemikiran
gemilang Chomsky itu jarangdiketahui banyak pihak. Padahal nama besar Chomsky
berada di urutan kedelapan darisekian pemikir hebat dunia, tepatnya satu
tingkat di bawah Plato dan Sigmund Freud.Buku Chomsky untuk Pemula, sangat
penting dan tepat untuk kita yang masihbuta tentang filsuf ini. Hal yang sangat
menarik dari buku itu, adalah disertainya karyaini dengan ilustrasi kartun yang
mampu menerjemahkan pemikiran-pemikiran filosofisChomsky ini dan memandu
pemahaman para pembaca.Lebih dari itu, buku itu juga memaparkan
pemikiran-pemikiran Chomsky tentangpolitik dan media. Terkait dengan media, dan
tidak bisa dilepaskan dari politik juga, kitaakan mendapati sosok yang lain
dari seorang Chomsky.